Lagu tersebut menggambarkan sangat subur lahan Indonesia. Namun, setelah jumlah penduduknya semakin bertambah, penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang sangat berlebih, menyebabkan lahan pertanian produktif menjadi berkurang, lahan berkurang kesuburannya.
Dengan tekad ingin mengenalkan kepada petani bahwa bertanam pepaya hasilnya tidak kalah dengan bertanam jagung, padi, sayuran, dan lain-lain, mulai Bulan Oktober 2009 pengelola rumah pintar "Pijoengan" melakukan terobosan dalam bercocok tanam. Budidaya pepaya pepaya di di desa Srimartani belum digandrungi oleh petani. Selama ini ini masyarakat mengenal buah pepaya hanya di sekitar pekarangan, buah yang matang pun jarang digunakan untuk buah, biasanya buah yang masih mentah dan daunnya digunakan untuk sayur atau pakan ikan. Tak heran, pada saat pengelola mencoba budi daya tanaman pepaya banyak masyarakat yang mengatakan "buat apa tanam pepaya, tidak menghasilkan".
Meski berita keberhasilan intensifikasi tanaman sering diketahui melalui media masa, tidak bisa dipungkiri bahwa lahan pertanian telah berkurang baik jumlah maupun kualitas tanahnya. Pengolahan yang lebih bagus sekarang ini sangat dibutuhkan. Selain itu, perlu dipilih jenis tanaman yang lebih menguntungkan dibanding dengan tanaman konvensional.
Pepaya ini dipilih karena beberapa pertimbangan: pertama, waktu tanam relatif singkat yaitu dua bulan sudah mulai berbunga dan enam bulan sudah mulai panen. kedua pemasaran mudah, ketiga biaya tanam dan perawatan yang dikeluarkan relatif terjangkau, keempat, hasil panen relatif lebih baik dibandingkan tanaman lain seperti jagung, kacang tanah, ataupun kacang panjang.
Dari pengalaman penulis dengan lahan 500 m2 bibit yang ditanam sebanyak 100 pohon, tiap pohon rata-rata dua buah pepaya yang siap dipanen tiap minggu (dengan berat antara 800 gr sampai 1.5 kg) . harga dipasaran dari petani setiap kilonya Rp. 2500 (pepaya california) Rp 1500 (red lady lonjog) Rp 1000 (red lady bulat)